Jargon yang mengatakan bahwa “orang miskin dilarang sekolah” seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang melekat dalam budaya kita. Banyak sekali pendapat-pendapat dan situasi yang memperkuat bahwa orang miskin tidak bisa sekolah. Mulai dari keyakinan yang salah terhadap sekolah, wawasan dan pengetahunan yang terbatas, sikap pasrah pada keadaan, ketidaktahuan terhadap program pendidikan, sampai pada kebiasaan meniru tetangga yang menganggap bahwa pendidikan bukan hal yang penting. Bahkan ada beberapa yang dengan sengaja menyalahkan pemerintah, walaupun ada sedikit benarnya, tetapi tidak sedikit orang yang berhasil keluar dari situasi seperti ini dan menjadi orang yang luar biasa.
Contoh yang paling familiar dapat kita lihat dari kisah nyata yang diangkat dalam film seperti “Denias” dan “Laskar Pelangi”. Dalam film tersebut dikisahkan tentang bagaimana anak yang berasal dari keluarga yang berlatar belakang tidak mampu serta dari daerah terpencil berjuang melaui pendidikan dan bahkan harus rela berpisah dengan orang tuanya untuk pergi ke luar pulau bahkan ke negara lain untuk menempuh pendidikan. Banyak tantangan dan resiko yang harus dihadapi demi menempuh pendidikan mereka. Tanpa ragu-ragu, mereka melangkah dengan pasti untuk mengejar cita-citanya. Sampai-sampai harus melangkahi persepsi atau anggapan lingkungan dan keluarga mereka yang menganggap bahwa pendidikan itu mahal, beresiko tinggi, berat, sulit, perlu kecerdasan lebih, perlu makanan yang bergizi, dan lain sebagainya. Padahal, anggapan seperti itu akan memperbesar dinding pembatas antara pengetahuan seseorang terhadap pendidikan.
Lebih parah lagi, kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Sebab, hal yang terpenting adalah kekayaan yang bisa dicari dan dipenuhi dengan kerja keras dan materi. Ditambah lagi anggapan bahwa pendidikan hanya dipakai untuk mencari gelar dan pekerjaan, sehingga kebanyakan orang, sebagai contoh, lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar, dan setelah memperoleh gelar tersebut mereka berpikir mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan kedudukan. Pendek kata, mereka beranggapan bahwa sekolah tidak penting karena pendidikan bisa menyelesaikan berbagai persoalan praktis dalam hidup mereka (Suyadi, 2011).
Belum lagi data statistik yang menunjukkan bahwa banyak sarjana yang menggnggur setelah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Padahal, jika kita lihat lebih jauh, kelompok sarjana yang menganggur tersebut merupakan kalkulasi akhir yang menggabungkan antara jumlah sarjana yang benar-benar mendapatkan gelar keserjanaannya menempuh pendidikan di dunia kampus maupun yang diperoleh melalui jalan pintas seperti misalnya membeli gelar ataupun dengan cara formalitas. Formalitas di sini artinya dengan mengikuti program-program pendidikan tertentu, membayar “lebih” untuk hal itu dan pada waktunya akan memperoleh gelar kesarjaan.
Memang, informasi dan data statistik seperti ini ada benarnya, tetapi juga banyak salahnya. Alasannya, tidak sedikit sarjana yang berhasil memperoleh pekerjaan, dan sebagian besar adalah sarjana yang kuliah di dunia kampus. Data statistik yang menunjukkan hasil seperti ini diakibatkan karena mereka tidak mempunyai skill atau keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, karena gelar kesarjaan yang mereka peroleh dikategorikan ke dalam gelar yang diperoleh melalui jalan pintas. Kedua, di era global seperti ini, lingkungan dan kualitas perguruan tinggi juga berpengaruh terhadap skill yang akan dimiliki oleh para peserta didiknya. Apabila perguruan tinggi tersebut hanya mampu menciptakan iklim pendidikan yang kualitasnya rendah dan daya saingnya juga rendah maka mustahil mampu menciptakan lulusan yang memliki skill dan daya saing utnuk memperoleh pekerjaan. Hal ini tidak semata-mata bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi skill seseorang yang diperoleh dalam pendidikan, terutama di perguruan tinggi juga mampu mencetak sarjana-sarjana yang kreatif dan inovatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang baru sesuai keahlian mereka.
Nah, kebanyakan orang mudah tertipu oleh informasi dan data statistik seperti itu. Akibatnya, mereka salah dalam menyimpulkan. Mereka berpendapat bahwa pada akhirnya menjadi sarjana akan tetap memperoleh gelar yang sama “namanya” dan utamanya untuk mempermudah dalam mencari pekerjaan. Hal inilah yang sebaiknya harus didekonstruksi ulang dari pikiran kita, apalagi tantangan di masa depan, terutama di Kabupaten Ketapang dan Provinsi Kalimantan Barat yang membuka peluang kepada siapa saja untuk bersaing dalam dunia kerja. Dalam situasi seperti ini diperlukan putera-puteri daerah yang memiliki sklill, daya saing, daya tawar, dan tentunya pengalaman untuk membangun daerahnya sendiri melalui dunia kerja yang akan mereka geluti kelak. Hal ini juga akan memperkebal mental dan pikiran kita untuk menghadapi berbagai tekanan dan kekuatan-kekuatan dari luar yang mencoba melumpuhkan kita. Pada akhirnya kita tidak tergerus dan shock terhadap budaya dan tantangan dunia luar. Ready to fight. (Fornestor Mindaw)
Lebih parah lagi, kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Sebab, hal yang terpenting adalah kekayaan yang bisa dicari dan dipenuhi dengan kerja keras dan materi. Ditambah lagi anggapan bahwa pendidikan hanya dipakai untuk mencari gelar dan pekerjaan, sehingga kebanyakan orang, sebagai contoh, lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar, dan setelah memperoleh gelar tersebut mereka berpikir mudah untuk mendapatkan pekerjaan dan kedudukan. Pendek kata, mereka beranggapan bahwa sekolah tidak penting karena pendidikan bisa menyelesaikan berbagai persoalan praktis dalam hidup mereka (Suyadi, 2011).
Belum lagi data statistik yang menunjukkan bahwa banyak sarjana yang menggnggur setelah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Padahal, jika kita lihat lebih jauh, kelompok sarjana yang menganggur tersebut merupakan kalkulasi akhir yang menggabungkan antara jumlah sarjana yang benar-benar mendapatkan gelar keserjanaannya menempuh pendidikan di dunia kampus maupun yang diperoleh melalui jalan pintas seperti misalnya membeli gelar ataupun dengan cara formalitas. Formalitas di sini artinya dengan mengikuti program-program pendidikan tertentu, membayar “lebih” untuk hal itu dan pada waktunya akan memperoleh gelar kesarjaan.
Memang, informasi dan data statistik seperti ini ada benarnya, tetapi juga banyak salahnya. Alasannya, tidak sedikit sarjana yang berhasil memperoleh pekerjaan, dan sebagian besar adalah sarjana yang kuliah di dunia kampus. Data statistik yang menunjukkan hasil seperti ini diakibatkan karena mereka tidak mempunyai skill atau keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, karena gelar kesarjaan yang mereka peroleh dikategorikan ke dalam gelar yang diperoleh melalui jalan pintas. Kedua, di era global seperti ini, lingkungan dan kualitas perguruan tinggi juga berpengaruh terhadap skill yang akan dimiliki oleh para peserta didiknya. Apabila perguruan tinggi tersebut hanya mampu menciptakan iklim pendidikan yang kualitasnya rendah dan daya saingnya juga rendah maka mustahil mampu menciptakan lulusan yang memliki skill dan daya saing utnuk memperoleh pekerjaan. Hal ini tidak semata-mata bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi skill seseorang yang diperoleh dalam pendidikan, terutama di perguruan tinggi juga mampu mencetak sarjana-sarjana yang kreatif dan inovatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang baru sesuai keahlian mereka.
Nah, kebanyakan orang mudah tertipu oleh informasi dan data statistik seperti itu. Akibatnya, mereka salah dalam menyimpulkan. Mereka berpendapat bahwa pada akhirnya menjadi sarjana akan tetap memperoleh gelar yang sama “namanya” dan utamanya untuk mempermudah dalam mencari pekerjaan. Hal inilah yang sebaiknya harus didekonstruksi ulang dari pikiran kita, apalagi tantangan di masa depan, terutama di Kabupaten Ketapang dan Provinsi Kalimantan Barat yang membuka peluang kepada siapa saja untuk bersaing dalam dunia kerja. Dalam situasi seperti ini diperlukan putera-puteri daerah yang memiliki sklill, daya saing, daya tawar, dan tentunya pengalaman untuk membangun daerahnya sendiri melalui dunia kerja yang akan mereka geluti kelak. Hal ini juga akan memperkebal mental dan pikiran kita untuk menghadapi berbagai tekanan dan kekuatan-kekuatan dari luar yang mencoba melumpuhkan kita. Pada akhirnya kita tidak tergerus dan shock terhadap budaya dan tantangan dunia luar. Ready to fight. (Fornestor Mindaw)