Oleh: Iwan Djola, S.Sn
“Jika kau menghamba pada Ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan”.
Kalimat heroik yang juga digunakan dalam awalan Opini majalah Tempo, 12 Mei 2013 ini berasal dari puisi seorang yang hilang hingga kini. Wiji Thukul, orang yang juga pernah dekat dengan beberapa tokoh pergerakan di Kalimantan Barat, salah satunya dengan Bang Stepanus Djuweng intelektual Dayak asal Ketapang. Tulisan ini tak bicara dimana Wiji Thukul kini, atau apa dan bagaimana perlawanannya terhadap Orde Baru. Tulisan ini mengutip sebuah semangat. Energi luar biasa dari orang muda untuk bergerak dengan full power sambil terus mengasah kecerdasan lahir dan batinnya.
Kalimat heroik yang juga digunakan dalam awalan Opini majalah Tempo, 12 Mei 2013 ini berasal dari puisi seorang yang hilang hingga kini. Wiji Thukul, orang yang juga pernah dekat dengan beberapa tokoh pergerakan di Kalimantan Barat, salah satunya dengan Bang Stepanus Djuweng intelektual Dayak asal Ketapang. Tulisan ini tak bicara dimana Wiji Thukul kini, atau apa dan bagaimana perlawanannya terhadap Orde Baru. Tulisan ini mengutip sebuah semangat. Energi luar biasa dari orang muda untuk bergerak dengan full power sambil terus mengasah kecerdasan lahir dan batinnya.
Saya baru sekali menginjak tanah pusaka Kayong, namun sekali itu membekaskan banyak kesan. Salah satunya adalah bagaimana terjadi sebuah pertarungan hegemoni kelompok yang hingga kini belum habis, dan bagaimana pula pemerintah sebagai regulator melihat peristiwa sosial budaya ini. Sebagai daerah bersejarah dengan adanya dua Keraton besar di Ketapang, jelaslah bahwa keberadaan Islam dalam konteks budaya Melayu sangat kental dan mendarah daging di teritori tertentu. Namun Kelompok yang sama pribuminya (baca; Dayak), juga memiliki sejarah panjang keberadaan dan eksistensinya sebagai pendahulu.
Rivalitas sunyi (jika harus demikian didefinisikan) kedua kelompok besar ini terjadi dalam semua lini, apalagi jika dikaitkan dengan konteks beragama. Namun yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana pesentuhan serius dan massive ini sebenarnya melahirkan kelompok-kelompok muda yang terkurung dalam sebuah gelas kaca masing-masing. Mereka bisa saling lihat, namun enggan berinteraksi bahkan bersentuhan, baik dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya cair, tapi justru setelah mereka menjadi terpelajar dan berilmu.
Fenomena ini sesungguhnya didasari oleh ketakutan-ketakutan yang terus menerus terekam dalam banyak benak anak muda di Kalimantan Barat, bahkan Indonesia pada umumnya. Perkenalan adalah ajang identifikasi dan pintu pemindai yang berbunyi; Siapa kamu, suku apa, dan apa agamamu? Ketakutan ini lah yang (mungkin) memotivasi banyak orang (termasuk kita dan saya) dalam mengawali cara pandang, paradigma, terhadap banyak fenomena hidup termasuk dalam pendidikan dan interaksi dengan individu lain. Sekolah harus tinggi karena takut tak bisa dapat kerja, Bekerja harus yang bergengsi karena takut gajinya kecil, bergaji dan berpenghasilan normal juga tetap takut tidak menjadi kaya. Mengerjakan tugas karena takut hukuman, membaca karena takut tak paham perkembangan, melihat dan menonton TV karena takut tidak gaul. Berusaha sekeras mungkin untuk punya Blackberry terbaru karena takut tidak up to date dan kurang gaul, bicara dalam bahasa baru dan asing karena takut tersingkir dari peradaban kelas, kampus, dan sosialita.
“Muaranya tak terlepas dari pendidikan Indonesia yang memproduksi orang-orang yang nantinya menjadi penakut dalam menghadapi kehidupan”. Pendapat ulama besar Buya Hamka ini, dikemukakan pada tahun delapan puluhan, namun pernyataan ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Orientasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pasar tenaga kerja, tetapi lebih sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman nilai-nilai dan pengalaman serta pengembangan ketrampilan, dan kepekaan hati nurani.
Ketakutan, rivalitas yang larut dalam keseharian dan pendidikan itu kini menumbuhkan sebuah generasi cerdas, berpendidikan tinggi namun kurang peka dan tipis jiwanya dalam konsep bermasyarakat yang plural.
Pengalaman interaktif generasi tua, didelegasikan kepada generasi berikutnya dengan gamblang. Yang juga akhirnya pun, melahirkan sebuah pengkulturan baru, rakyat dengan rakyat, rakyat dengan negara, rakyat biru dengan rakyat merah dan hijau. Pribumi dan non pribumi, asli dan tidak asli, Jawa dan non-Jawa, Pancasilais dan non- Pancasilais, minoritas dan mayoritas dan banyak lainnya. Generasi muda kini disuguhkan sebuah drama panjang soal-soal di atas, dan ditengah persoalan itu pula mereka tumbuh, menjadi terpelajar dan berinteraksi ditengah perbedaan.
Problem ini menarik untuk di kaji dan dipahami mendalam. Sebab kini akses dunia maya berseliweran bebas dan lepas sebagai bagian pendidik non formal baru bagi kita. Sikap yang benar dalam berdialog dan berinteraksi diharapkan lahir oleh sebuah pendewasaan masyarakat yang tidak mengalami ketakutan yang akut.
Ketapang sebagai sebuah daerah yang multikultur belum bisa disebut menghormati pluralisme utuh, cukup berhenti sampai di sebuah realitas bahwa kita disini terdapat banyak kelompok, berbeda dan kini berada dalam satu lingkaran yang sama. Dalam kondisi di atas, sesungguhnya Pemerintah adalah pihak yang selayaknya cerdas membaca dan menyikapi. Karena pemerintah adalah Negara dan negara adalah penyelenggara hukum, aturan, pendidikan, dan bertanggung jawab terhadap kinerja dan masa depan generasi berikutnya. Salah satu sisi paling cair dalam menyambungkan ide-ide dalam mencegah ketakutan itu sesungguhnya adalah kesenian yang juga anak kandung dari budaya di satu tempat. Namun pada bagian ini pun Negara limbung dan seolah tak memilki konsep yang tepat.
Negara ikut takut image Indonesia buruk dan udik dimata Internasional, sehingga yang lebih diutamakan adalah mengejar keuntungan, memperkaya manusia (dan belum kaya-kaya), mengeksploitasi alam dan hutan karena takut (lagi) tak semakmur bangsa lain. Negara lebih memilih menjadi agresor dalam nilai-nilai materi sehingga konsep pendidikan dan kebudayaan yang jernih dan jujur terabaikan, dan hati nurani seorang Profesor sekalipun tak bisa kita percayai begitu saja.
Fakta bahwa banyak guru, pengacara, polisi, jaksa, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang gelarnya berjejer, hidupnya bekecukupan, bahkan sebagai regulator terjun dalam masyarakat dan menjadi ‘mati’, sebab banyak yang tak terlatih bermasyarakat dalam pendidikannya. Hidupnya cenderung mementingkan dirinya sendiri, gelar hanya semata untuk harta, hatinya menyerupai batu, tidak mempunyai cita-cita lain selain kesenangan dirinya. Pribadi hedonik, ia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya dan intelektualitasnya kerap kali menimbulkan takutnya yang baru. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki hidup sebenarnya.
Silahkan anda data siapa saja dan dari kalangan apa Koruptor itu banyak berasal. Kalimat-kalimat yang seperti mengawang-awang ditengah carut marut realita hidup. Namun sungguh saat ini orang muda disuguhkan dengan parade kekacauan yang seolah membudaya, festival ketakutan yang tak terjawab. Adat, budaya dan kesenian yang memperhalus budi dan rasa jauh ditinggalkan dan bukan utama bagi negara dalam mempersiapkan sebuah estafet yang baik.
Kebudayaan di dareah hanya diperlakukan sebagai komoditas cepat saji, esensinya ditinggalkan, kearifannya dianggap sekedar dongeng belaka yang tidak realistis. Sehingga fenomena ini seolah biasa, dan lazim. Pemerintah mendidik anak bangsa dengan wajah Panggung, diperankan dalam sebuah karakter pura-pura, yang berbeda dengan realitas sesungguhnya.
Generasi muda di Ketapang dan Indonesia, umumnya luar Jawa, bergerilya jauh dari daerah asal demi pendidikan yang lebih baik. Semoga saja semangat Betang Panjang yang menjadi legenda pendidikan dasar manusia itu masih mampu digali dan diambil sari patinya. Lalu ketakutan-ketakutan yang terpampang jelas didepan mata menjadi sebuah pembelajaran, bahwa suatu daerah tak akan maju dan berkembang karena dominasi suku dan agama tertentu saja. Bahwa menjadi terpelajar dan cerdas berarti pula mau berdamai dengan masa lalu dan menjadikannya referensi dalam bergaul, berteman, bersaudara untuk sebuah perdamaian yang ideal.
Sebab sungguh ketakutan-ketakutan akan dibayar sangat mahal oleh sebuah generasi. Sebab ketakutan yang tak terkendali membuat seseorang bisa menjadi orang diluar dirinya dalam menyikapi hidup, menilai orang lain bahkan dirinya sendiri. Orang muda di Ketapang yang multikultur dan Indonesia yang (katanya plural) tak seharusnya cerdas dan intelek namun terjebak dalam perbudakan ketakutan yang menyesatkan.
Saya melihat, mungkin seperti mengawang-awang dan membicarakan mimpi. Tapi mimpi pun sedikit memberi pembelajaran untuk tidak takut berharap akan terjadi sebuah perbaikan terhadap bangsa melalui generasi mudanya. Harapan membuat kita berani melawan ketakutan.
Tabi’.
Bandung, 30 Mei 2013.
Iwan Djola, peminat soal budaya Dayak, aktif berkawan dengan kelompok mahasiswa Kalimantan di Yogyakarta, belajar menjadi pengajar Seni rupa di Perguruan Tinggi swasta di Bandung.
Rivalitas sunyi (jika harus demikian didefinisikan) kedua kelompok besar ini terjadi dalam semua lini, apalagi jika dikaitkan dengan konteks beragama. Namun yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana pesentuhan serius dan massive ini sebenarnya melahirkan kelompok-kelompok muda yang terkurung dalam sebuah gelas kaca masing-masing. Mereka bisa saling lihat, namun enggan berinteraksi bahkan bersentuhan, baik dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya cair, tapi justru setelah mereka menjadi terpelajar dan berilmu.
Fenomena ini sesungguhnya didasari oleh ketakutan-ketakutan yang terus menerus terekam dalam banyak benak anak muda di Kalimantan Barat, bahkan Indonesia pada umumnya. Perkenalan adalah ajang identifikasi dan pintu pemindai yang berbunyi; Siapa kamu, suku apa, dan apa agamamu? Ketakutan ini lah yang (mungkin) memotivasi banyak orang (termasuk kita dan saya) dalam mengawali cara pandang, paradigma, terhadap banyak fenomena hidup termasuk dalam pendidikan dan interaksi dengan individu lain. Sekolah harus tinggi karena takut tak bisa dapat kerja, Bekerja harus yang bergengsi karena takut gajinya kecil, bergaji dan berpenghasilan normal juga tetap takut tidak menjadi kaya. Mengerjakan tugas karena takut hukuman, membaca karena takut tak paham perkembangan, melihat dan menonton TV karena takut tidak gaul. Berusaha sekeras mungkin untuk punya Blackberry terbaru karena takut tidak up to date dan kurang gaul, bicara dalam bahasa baru dan asing karena takut tersingkir dari peradaban kelas, kampus, dan sosialita.
“Muaranya tak terlepas dari pendidikan Indonesia yang memproduksi orang-orang yang nantinya menjadi penakut dalam menghadapi kehidupan”. Pendapat ulama besar Buya Hamka ini, dikemukakan pada tahun delapan puluhan, namun pernyataan ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Orientasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhi pasar tenaga kerja, tetapi lebih sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman nilai-nilai dan pengalaman serta pengembangan ketrampilan, dan kepekaan hati nurani.
Ketakutan, rivalitas yang larut dalam keseharian dan pendidikan itu kini menumbuhkan sebuah generasi cerdas, berpendidikan tinggi namun kurang peka dan tipis jiwanya dalam konsep bermasyarakat yang plural.
Pengalaman interaktif generasi tua, didelegasikan kepada generasi berikutnya dengan gamblang. Yang juga akhirnya pun, melahirkan sebuah pengkulturan baru, rakyat dengan rakyat, rakyat dengan negara, rakyat biru dengan rakyat merah dan hijau. Pribumi dan non pribumi, asli dan tidak asli, Jawa dan non-Jawa, Pancasilais dan non- Pancasilais, minoritas dan mayoritas dan banyak lainnya. Generasi muda kini disuguhkan sebuah drama panjang soal-soal di atas, dan ditengah persoalan itu pula mereka tumbuh, menjadi terpelajar dan berinteraksi ditengah perbedaan.
Problem ini menarik untuk di kaji dan dipahami mendalam. Sebab kini akses dunia maya berseliweran bebas dan lepas sebagai bagian pendidik non formal baru bagi kita. Sikap yang benar dalam berdialog dan berinteraksi diharapkan lahir oleh sebuah pendewasaan masyarakat yang tidak mengalami ketakutan yang akut.
Ketapang sebagai sebuah daerah yang multikultur belum bisa disebut menghormati pluralisme utuh, cukup berhenti sampai di sebuah realitas bahwa kita disini terdapat banyak kelompok, berbeda dan kini berada dalam satu lingkaran yang sama. Dalam kondisi di atas, sesungguhnya Pemerintah adalah pihak yang selayaknya cerdas membaca dan menyikapi. Karena pemerintah adalah Negara dan negara adalah penyelenggara hukum, aturan, pendidikan, dan bertanggung jawab terhadap kinerja dan masa depan generasi berikutnya. Salah satu sisi paling cair dalam menyambungkan ide-ide dalam mencegah ketakutan itu sesungguhnya adalah kesenian yang juga anak kandung dari budaya di satu tempat. Namun pada bagian ini pun Negara limbung dan seolah tak memilki konsep yang tepat.
Negara ikut takut image Indonesia buruk dan udik dimata Internasional, sehingga yang lebih diutamakan adalah mengejar keuntungan, memperkaya manusia (dan belum kaya-kaya), mengeksploitasi alam dan hutan karena takut (lagi) tak semakmur bangsa lain. Negara lebih memilih menjadi agresor dalam nilai-nilai materi sehingga konsep pendidikan dan kebudayaan yang jernih dan jujur terabaikan, dan hati nurani seorang Profesor sekalipun tak bisa kita percayai begitu saja.
Fakta bahwa banyak guru, pengacara, polisi, jaksa, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang gelarnya berjejer, hidupnya bekecukupan, bahkan sebagai regulator terjun dalam masyarakat dan menjadi ‘mati’, sebab banyak yang tak terlatih bermasyarakat dalam pendidikannya. Hidupnya cenderung mementingkan dirinya sendiri, gelar hanya semata untuk harta, hatinya menyerupai batu, tidak mempunyai cita-cita lain selain kesenangan dirinya. Pribadi hedonik, ia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya dan intelektualitasnya kerap kali menimbulkan takutnya yang baru. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki hidup sebenarnya.
Silahkan anda data siapa saja dan dari kalangan apa Koruptor itu banyak berasal. Kalimat-kalimat yang seperti mengawang-awang ditengah carut marut realita hidup. Namun sungguh saat ini orang muda disuguhkan dengan parade kekacauan yang seolah membudaya, festival ketakutan yang tak terjawab. Adat, budaya dan kesenian yang memperhalus budi dan rasa jauh ditinggalkan dan bukan utama bagi negara dalam mempersiapkan sebuah estafet yang baik.
Kebudayaan di dareah hanya diperlakukan sebagai komoditas cepat saji, esensinya ditinggalkan, kearifannya dianggap sekedar dongeng belaka yang tidak realistis. Sehingga fenomena ini seolah biasa, dan lazim. Pemerintah mendidik anak bangsa dengan wajah Panggung, diperankan dalam sebuah karakter pura-pura, yang berbeda dengan realitas sesungguhnya.
Generasi muda di Ketapang dan Indonesia, umumnya luar Jawa, bergerilya jauh dari daerah asal demi pendidikan yang lebih baik. Semoga saja semangat Betang Panjang yang menjadi legenda pendidikan dasar manusia itu masih mampu digali dan diambil sari patinya. Lalu ketakutan-ketakutan yang terpampang jelas didepan mata menjadi sebuah pembelajaran, bahwa suatu daerah tak akan maju dan berkembang karena dominasi suku dan agama tertentu saja. Bahwa menjadi terpelajar dan cerdas berarti pula mau berdamai dengan masa lalu dan menjadikannya referensi dalam bergaul, berteman, bersaudara untuk sebuah perdamaian yang ideal.
Sebab sungguh ketakutan-ketakutan akan dibayar sangat mahal oleh sebuah generasi. Sebab ketakutan yang tak terkendali membuat seseorang bisa menjadi orang diluar dirinya dalam menyikapi hidup, menilai orang lain bahkan dirinya sendiri. Orang muda di Ketapang yang multikultur dan Indonesia yang (katanya plural) tak seharusnya cerdas dan intelek namun terjebak dalam perbudakan ketakutan yang menyesatkan.
Saya melihat, mungkin seperti mengawang-awang dan membicarakan mimpi. Tapi mimpi pun sedikit memberi pembelajaran untuk tidak takut berharap akan terjadi sebuah perbaikan terhadap bangsa melalui generasi mudanya. Harapan membuat kita berani melawan ketakutan.
Tabi’.
Bandung, 30 Mei 2013.
Iwan Djola, peminat soal budaya Dayak, aktif berkawan dengan kelompok mahasiswa Kalimantan di Yogyakarta, belajar menjadi pengajar Seni rupa di Perguruan Tinggi swasta di Bandung.