Oleh : Petrus Kanisius*
Hubungan erat antara budaya dan lingkungan adalah sangat jelas bagi masyarakat adat. Semua masyarakat adat memiliki hubungan spritual, budaya, sosial dan ekonomi dengan wilyah tradisionalnya. Hukum-hukum adat, tradisi dan praktek-praktek yang menggambarkan keterikatan atas tanah dan tanggung jawab untuk melestarikan wilayah tradisional untuk kebutuhan generasi selanjutnya. Sebagai contoh di Amerika Tengah, di lembah Amazon, Asia, Amerika Utara, Australia dan Afrika Utara, keberlangsungan hidup dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat di sana tergantung pada perlindungan wilayah dan sumberdayanya.
Hubungan erat antara budaya dan lingkungan adalah sangat jelas bagi masyarakat adat. Semua masyarakat adat memiliki hubungan spritual, budaya, sosial dan ekonomi dengan wilyah tradisionalnya. Hukum-hukum adat, tradisi dan praktek-praktek yang menggambarkan keterikatan atas tanah dan tanggung jawab untuk melestarikan wilayah tradisional untuk kebutuhan generasi selanjutnya. Sebagai contoh di Amerika Tengah, di lembah Amazon, Asia, Amerika Utara, Australia dan Afrika Utara, keberlangsungan hidup dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat di sana tergantung pada perlindungan wilayah dan sumberdayanya.
Selama berabad-abad, hubungan antara masyarakat adat dan lingkungannya telah terkikis dengan hilangnya kepemilikan wilayah atau dipaksa pindah dari wilayah tradisional dan lokasi-lokasi penting mereka. Hak tanah, tata guna lahan dan pengelolaan sumberdaya tetap merupakan masalah-masalah kritis bagi masyarakat adat di seluruh dunia. Proyek-proyek pembangunan, penambangan, kegiatan-kegiatan kehutanan dan program-program pertanian terus-menerus menyingkirkan masyarakat adat. Kerusakan lingkungan yang terjadi sangat besar: tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis satwa menjadi punah atau terancam punah, ekosistem-ekosistem unik telah hancur, sungai dan tangkapan air lainnya telah terpolusi berat. Berbagai varietas tanaman-tanaman komersil telah menggantikan varietas-varietas lokal yang digunakan dalam sistem pertanian tradisional, yang mengakibatkan peningkatan metode pertanian industrial.
Momen penting dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat yang terkait dengan lingkungan terlihat jelas dalam Konferensi PBB Mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau sering disebut KTT Bumi) yang diselenggarakan di Brazil pada 1992. Sejumlah instrumen hukum disahkan dalam KTT Bumi tersebut, antara lain Deklarasi Rio, Agenda 21 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati, yang menjadi standar hukum internasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas pengetahuan dan praktek-praktek tradisional yang mereka miiliki di wilayah-wilayah pengelolaan lingkungan dan konservasi (dalam Lembar 10 Masyarakat Adat dan Lingkungan hal 1-2). Poin penting dari hasil pertemuan tersebut adalah saat ini kita memiliki kerangka hukum internasional yang mengakui hubungan khusus yang dimiliki oleh masyarakat adat dengan wilayah tradisionalnya.
Penghargaan Masyarakat Terhadap Adat dan Lingkungan
Secara jelas bahwa pemerintah harus mengakui hak-hak warisan leluhur masyarakat adat untuk menempati, memiliki dan mengelola wilayah tradisional dan teritorinya semakin bertambah banyak. Banyak negara juga telah membentuk Kementerian Lingkungan dan menyusun Pernyataan dan Strategi-Strategi Kebijakan Lingkungan Skala Nasional. Meskipun beberapa pemerintah saat ini telah melakukan konsultasi dengan masyarakat adat menyangkut masalah kepemilikan tanah dan lingkungan, banyak juga pemerintah yang belum membuat peraturan hukum dan kebijakan yang memungkinkan masyarakat adat mengklaim tanah-tanah adat atau mempromosikan partisipasi masyarakat adat.
Pada tatanan masyarakat kita (khususnya di Masyarakat Dayak), hubungan erat antara lingkungan dan budaya menyangkut masyarakat adat sangat jelas terlihat, seperti misalnya penghargaan masyarakat terhadap tradisi berkaitan dengan berladang. Pada tahapan berladang ini sangat jelas terlihat bahwa adat dan tradisi begitu sangat dijunjung tinggi. Setiap memulai dan mengahkiri kegiatan selalu memakai simbol-simbol adat dan tradisi adat sebagai patokan penghargaan terhadap budaya (adat dan tradisi ) dan lingkungan.
Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan yang sangat menarik dari Stanislaus Riyanta yang saya baca di kompasiana (Kompas) online, tulisannya menyebutkan ; “Saya setengah iri setengah kagum dengan cara masyarakat Dayak mengelola alam dan lingkungannya. Rasa iri dan kagum ini muncul karena saya melihat bahwa masyarakat dayak terutama Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat bisa menggunakan perspektif budaya dalam mengelola alam dan lingkungannya”.
Pernyataan ini sangat beralasan sekali karena, pertama masyarakat adat sangat menghargai lingkungan dan budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari berkaitan kebiasaan dan rutinitas. Penghargaan terhadap lingkungan (alam atau hutan) dan tentunya sangat berkaitan. Kedua, Lingkungan dan budaya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Dayak. Mengapa dikatakan demikian, salah satu alasan sudah barang tentu adalah peran lingkungan dan budaya sangat besar dalam kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Ketiga, penghargaan terhadap lingkungan dan budaya terlihat dari antusias masyarakat adat yang selalu mengadakan tradisi tahunan seperti Gawai Adat Dayak, Naik Dango, Nyapat Taun’t dan banyak lagi kegiatan lainnya. Hal ini sebagai simbol penghargaan terhadap lingkungkan (alam atau hutan) dan budaya sebagai napas dan hidup tempat berpijak. Saat ini kondisi lingkungan semakin memprihatinkan, alam dan lingkungan semakin rusak, budaya semakin terkikis oleh perkembangan jaman. Harapan satu-satunya adalah tinggal bagaimana kita semua, kaum muda untuk selalu menjunjung tinggi nilai budaya dan selalu tanggap. Sebelum terlambat berbuatlah sekecil apapun itu, lingkungan dan budaya akan menghargai kita apabila kita juga menghormati mereka. (Juni 2011)
*) Bekerja di Yayasan Palung, Alumni Betang dan Bedayong.
Momen penting dalam perjuangan hak-hak masyarakat adat yang terkait dengan lingkungan terlihat jelas dalam Konferensi PBB Mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau sering disebut KTT Bumi) yang diselenggarakan di Brazil pada 1992. Sejumlah instrumen hukum disahkan dalam KTT Bumi tersebut, antara lain Deklarasi Rio, Agenda 21 dan Konvensi Keanekaragaman Hayati, yang menjadi standar hukum internasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas pengetahuan dan praktek-praktek tradisional yang mereka miiliki di wilayah-wilayah pengelolaan lingkungan dan konservasi (dalam Lembar 10 Masyarakat Adat dan Lingkungan hal 1-2). Poin penting dari hasil pertemuan tersebut adalah saat ini kita memiliki kerangka hukum internasional yang mengakui hubungan khusus yang dimiliki oleh masyarakat adat dengan wilayah tradisionalnya.
Penghargaan Masyarakat Terhadap Adat dan Lingkungan
Secara jelas bahwa pemerintah harus mengakui hak-hak warisan leluhur masyarakat adat untuk menempati, memiliki dan mengelola wilayah tradisional dan teritorinya semakin bertambah banyak. Banyak negara juga telah membentuk Kementerian Lingkungan dan menyusun Pernyataan dan Strategi-Strategi Kebijakan Lingkungan Skala Nasional. Meskipun beberapa pemerintah saat ini telah melakukan konsultasi dengan masyarakat adat menyangkut masalah kepemilikan tanah dan lingkungan, banyak juga pemerintah yang belum membuat peraturan hukum dan kebijakan yang memungkinkan masyarakat adat mengklaim tanah-tanah adat atau mempromosikan partisipasi masyarakat adat.
Pada tatanan masyarakat kita (khususnya di Masyarakat Dayak), hubungan erat antara lingkungan dan budaya menyangkut masyarakat adat sangat jelas terlihat, seperti misalnya penghargaan masyarakat terhadap tradisi berkaitan dengan berladang. Pada tahapan berladang ini sangat jelas terlihat bahwa adat dan tradisi begitu sangat dijunjung tinggi. Setiap memulai dan mengahkiri kegiatan selalu memakai simbol-simbol adat dan tradisi adat sebagai patokan penghargaan terhadap budaya (adat dan tradisi ) dan lingkungan.
Beberapa waktu lalu ada sebuah tulisan yang sangat menarik dari Stanislaus Riyanta yang saya baca di kompasiana (Kompas) online, tulisannya menyebutkan ; “Saya setengah iri setengah kagum dengan cara masyarakat Dayak mengelola alam dan lingkungannya. Rasa iri dan kagum ini muncul karena saya melihat bahwa masyarakat dayak terutama Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat bisa menggunakan perspektif budaya dalam mengelola alam dan lingkungannya”.
Pernyataan ini sangat beralasan sekali karena, pertama masyarakat adat sangat menghargai lingkungan dan budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari berkaitan kebiasaan dan rutinitas. Penghargaan terhadap lingkungan (alam atau hutan) dan tentunya sangat berkaitan. Kedua, Lingkungan dan budaya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Dayak. Mengapa dikatakan demikian, salah satu alasan sudah barang tentu adalah peran lingkungan dan budaya sangat besar dalam kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat. Ketiga, penghargaan terhadap lingkungan dan budaya terlihat dari antusias masyarakat adat yang selalu mengadakan tradisi tahunan seperti Gawai Adat Dayak, Naik Dango, Nyapat Taun’t dan banyak lagi kegiatan lainnya. Hal ini sebagai simbol penghargaan terhadap lingkungkan (alam atau hutan) dan budaya sebagai napas dan hidup tempat berpijak. Saat ini kondisi lingkungan semakin memprihatinkan, alam dan lingkungan semakin rusak, budaya semakin terkikis oleh perkembangan jaman. Harapan satu-satunya adalah tinggal bagaimana kita semua, kaum muda untuk selalu menjunjung tinggi nilai budaya dan selalu tanggap. Sebelum terlambat berbuatlah sekecil apapun itu, lingkungan dan budaya akan menghargai kita apabila kita juga menghormati mereka. (Juni 2011)
*) Bekerja di Yayasan Palung, Alumni Betang dan Bedayong.