Oleh: Emanuel Edi Saputra*)
“Kita semua telah lalai terhadap sektor pertanian, sehingga kemiskinan susah dicari jalan keluarnya”. Keprihatinan tersebut dirumuskan dalam Kongres Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) ke XII di Jakarta 2000. Sepuluh tahun telah berlalu, namun masalah tersebut masih relevan untuk diingat kembali karena kita masih berkutat pada masalah yang sama yakni: kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan parameter lainnya.
“Kita semua telah lalai terhadap sektor pertanian, sehingga kemiskinan susah dicari jalan keluarnya”. Keprihatinan tersebut dirumuskan dalam Kongres Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) ke XII di Jakarta 2000. Sepuluh tahun telah berlalu, namun masalah tersebut masih relevan untuk diingat kembali karena kita masih berkutat pada masalah yang sama yakni: kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan parameter lainnya.
Indonesia sebenarnya memiliki peluang emas (golden change) untuk menjadi Negara sukses melebihi kawasan bahkan di dunia. Indonesia memiliki modal strategis: menyangkut geografi, demografi, dan sejarah. Indonesia harus mampu memanfaatkan posisi geografisnya yang terletak di jantung kawasan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia mencakup Asia Timur, Asia Selatan, dan Australia-Selandia Baru. Bentang daratan dan lautan yang luas dengan pantai terpanjang di dunia (80.000 Km), posisi tropis, fluktuasi iklim yang rendah, serta kesuburan tanah dan keragaman hayati alamiah (biodiversity) nomor dua di dunia yang dimiliki merupakan potensi yang besar.
Bila visi Indonesia 2030 tercapai maka acuan capaian Millenium Development Goals (MDGs) jauh terlampaui, pendapatan per kapita jauh diatas 10.000 dollar AS. Indonesia tidak lagi bertumpu pada industri dan ekonomi komoditas, namun telah berkembang perekonomiannya pada pengetahuan. Dalam mewujudkannya, tidak hanya diperlukan pelaku yang kapabel dalam inovasi, tatakelola dan strategi manajemen, namun juga menjadi syarat bagi performa yang lebih baik dari sekarang, mengenai peran politik, media, swasta, dan LSM. Kini dengan product domestic bruto (PDB) 700 miliar dollar AS, Indonesia telah masuk dalam Negara G-20.
Namun kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penurunan kemiskinan semakin menurun year on year. Pada kuartal I tahun 2009 penduduk miskin sebesar 32,53 juta (14,15%) menjadi 32,02 juta orang (13,33%) pada kuartal I tahun 2010, berarti hanya turun 0,82%; dimana tahun sebelumnya turun sebesar 1,27%. Penurunan kemiskinan di pedesaan lebih kecil daripada penurunan kemiskinan di perkotaan. Kondisi ini akan merugikan laju mewujudkan Indonesia modern, karena sebagian besar penduduk adalah petani (lebih dari 60% penduduk Indonesia masih bergantung kehidupannya dari pertanian baik di perkotaan maupun di pedesaan).
Modernisasi Indonesia bisa dicapai jika berbasis sumber daya pertanian dan pedesaan (Darsono 2011). Hal tersebut meliputi: 1) keragaman Indonesia modern, 2) capaian kesejahteraan pertanian Indonesia, 3) Persoalan pertanian Indonesia, 4) Mewujudkan pertanian modern Indonesia, dan 5) strategi pengembangan agroindustri.
Keragaman Indonesia Modern dan Posisi Pertanian
Visi Indonesia 2030 dimotivasi oleh aspirasi mewujudkan Indonesia yang modern, maju, dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Rumusan visinya masih menekankan perlunya memilih alam dengan pertanian sebagai basis keunggulan, yakni “ Menjadi Negara Maju yang Unggul dalam Pengelolaan Kekayaan Alam”. Empat pencapaian utama dalam Indonesia Modern adalah:
Kontribusi sektor pertanian diperkirakan akan terus menurun hingga tahun 2030, namun diikuti peningkatan kesejahteraan, produktivitas, dan keterkaitannya dengan sektor lain. Produktivitas sektor pertanian meningkat seiring dengan kemajuan tekhnologi. Peranan sektor pertanian selanjutnya hanya sebagai pendukung sektor manufaktur. Konsentrasi pembangunan sektoral dalam Indonesia modern, meliputi urutan terpenting: 1) Pertanian, 2) Industri manufaktur, 3) Energi dan pertambangan, 4) Perbankan, jasa keuangan, dan pasar modal, 5) Konstruksi dan properti, 6) Perdagangan besar, eceran, dan persaingan usaha, 7) Perdagangan internasional, 8) Pariwisata, 9) Infrastruktur dan jasa transportasi, 10) Tekhnologi informasi dan telekomunikasi.
Capaian Kesejahteraan Pertanian Indonesia
Capaian kinerja pertanian dalam sejarah menunjukan, sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia telah berperan untuk memulai dan menumbuhkan perekonomian agergat sejak periode 1960-an. Contoh keberhasilan tersebut tampak dari sisi pangan. Bangsa ini telah memiliki pondasi yang kuat dari sisi suplai khususnya pertanian padi. Sejak pembangunan oleh Orde Baru, tahun 1970-an telah disusun kebijakan sistematis melalui Bimas dengan tatalaksana kebijakan terintegrasi secara nasional.
Dengan kebijakan yang agresif, akhirnya Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tatalaksana usaha tani kecil (karena rata-rata pengusahaan sekitar 0,3 ha) namun mampu
mencapai swasembada pangan (Darsono 2011). Keberhasilan pertanian pangan telah menggerakan agresifitas pertumbuhan sebsektor lain bahkan sektor industri dan jasa lainnya. Hal itu selaras dengan sejarah peradaban ekonomi bangsa-bangsa di dunia yang senantiasa dimulai, ditumbuhkan dan didukung secara konsisten oleh pertanian untuk kemakmuran rakyatnya. Khususnya dibuktikan oleh Negara-negara yang memiliki limpahan (endouwment) sumber daya pertanian. Bagi Indonesia potensi itu ada, bahkan banyak studi misalnya (Arifin, 2001, Darsono, 2007) memperkirakan akan terjadi kemakmuran di Indonesia dengan mengelola secara baik sumber daya pertaniannya.
Persoalan Pertanian Indonesia
Banyak studi yang menemukan bahwa peran pertanian Indonesia semakin menurun secara tidak wajar dengan parameter penurunan produktivitas, pangsa ekonomi, serapan tenaga kerja, dan kemampuan membangkitkan sektor sekunder. Sejak tahun 1990-an tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia.
Revitalisasi pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan (RPPPK) telah dicanangkan pada deklarasi Jatiluhur tanggal 11 Juni 2005. Hingga sekarang belum nampak program masif yang menyentuh langsung dalam hajat hidup pertanian, petani, peternak, bahkan nelayan untuk perbaikan performa dan harkat hidupnya. Infrastruktur irigasi tidak progresif bahkan dibiarkan terbengkalai dimana-mana. Petani serasa menghadapi serangan wereng masih sendirian. BULOG tidak berperan lagi secara baik dalam mendukung ketahanan pangan. Inovasi tekhnologi benih jauh dibawah potensi kapasitas diversitas tersedia pertanian, sehingga kita diserbu segala jenis komoditas pertanian impor bahkan yang asal tetuanya dari Indonesia.
Indikasi selanjutnya tidak berkembangnya rantai agroindustri sebagai fase antara untuk mengantarkan proses transformasi industrialisasi di Indonesia. Sehingga, perekonmomian domestik tidak dapat menciptakan nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati nilai tambah/insentif positif tersebut untuk kesejahteraan. Agroindustri adalah rantai lanjutan produk dari sektor pertanian, pencipta nilai tambah dan sebagai fase antara industrialisasi.
Permasalahan pasar dalam studi Timmer (1996) dan Enrique (2008) menunjukan bahwa pasar pertanian tidak simetris (asimetris market) baik pasar domestik maupun internasional. Elastisitas transmisi harga komoditas pertanian kecil, sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh produsen. Dampaknya, terdapat disinsentif serius dalam investasi pertanian yang progresif dan tidak mendorong berkembangnya agroindustri (Darsono, 2010b).
Alokasi belanja pemerintah dalam fiskal untuk pertanian selama masa pembangunan dan setelah memasuki periode otonomi cenderung terus menurun dalam kondisi pertanian tidak semakin mandiri. Di kabupaten/kota dan provinsi, terjadi pula penurunan rata-rata alokasi belanja pembangunan pertanian dalam APBD dari 4,80% pada awal periode otonomi daerah/desentralisasi fiskal (1999), tinggal 4,39% di tahun 2006. Pada era otonomi, kondisi infrastruktur sebagian besar (70%) semakin buruk terutama jaringan irigasi, jalan pedesaan dan pasar desa. Subsidi untuk pertanian juga mengalami penurunan drastis. Dari uraian persoalan pertanian dan pertanian Indonesia menandakan bahwa mekanisme transformasi dalam perekonomian nasional terindikasi gagal.
Mewujudkan Pertanian Indonesia Modern
Untuk mewujudkan pertanian yang modern, tiga strategi dasar yang harus diwujudkan yaitu:
Kemandirian Petani
Kemandirian petani didekati dengan keberdayaan dari sisi pendidikan, ekonomi, dan daya saing. Sampai tahun 2011, 75% pendidikan petani dan yang bekerja di sektor pertanian rata-rata tidak tamat sekolah dasar (SD), 24% lulus SMP dan SMA, hanya 1% yang lulus perguruan tinggi. Secara ekonomi, sekitar 56% petani Indonesia hidup subsisten dengan mengusahakan lahan sekitar 0,3 ha dan pendapatan Rp 16 juta (sekitar $ 1.600 AS)/hektar/tahun (BPS, 2010). Mereka langsung menghadapi dinamika pasar bebas dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan membayar teramat mahal, sementara produk komoditas pertanian diserahkan ke mekanisme pasar (kecuali meras) yang berdaya saing rendah sehingga harganya murah. Pupuk tergantung dari perusahan multinasional, akses kredit yang teramat susah, sehinga penciptaan nilai lebih (saving) petani tidak memungkinkan dan inovasi tidak pernah ada di pedesaan. Kalau inovasi sebagai sumber kamajuan karena mobilitas kapital (Mankiw, 2006) tidak ada, maka di desa akan sulit menemukan kemandirian dan daya saing yang semakin baik karena petani tidak pernah bisa menangkap aliran kapital tersebut.
Memandirikan petani meliputi aspek petani, lahan pertanian, budidaya pertanian, dan usahatani. Mewujudkan daya saing petani dalam kasus Indonesia dicapai melalui sinergi dan jejaring kelembagaan ditingkat petani dengan para pemangku kepentingan. Dalam skala usaha, secara akulturatif dicapai dengan proses persandingan antara pertanian tradisional dengan pertanian modern. Reinventing dan revitalisasi kelembagaan usahatani diperlukan. Bentuk usaha tani yang memadukan kekuatan kelembagaan di tingkat petani, ditawarkan bentuk badan usaha milik petani (BUMD). Kemandirian petani kedepan juga harus berbekal mitigasi cuaca karena anomali iklim dan perubahan dinamis sedang terjadi. Pada era perubahan iklim, petani Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan perencanaan dan implementasi kebijakan secara konfensional.
Menciptakan Surplus Pedesaan
Upaya serius memandirikan desa dilakukan dengan menciptakan surlus pedesaan. Caranya dengan membalik proses aliran pencucian sumber daya atau paling tidak dengan membalik fenomena urbanisasi menjadi ruralisasi, kerena kondisi desa menarik untuk memperoleh nilai tambah karena kegiatan industri berbasis agro di pedesaan. Portofolio investasi harus didorong berlokasi di desa dan peruntukannya bagi pertanian. Disain riset pertanian dan tekhnologi mampu memberikan pengayaan bagi sumber daya pedesaan yang dimulai dari tekhnologi benih, dan bibit yang masif mengkreasi komoditas tetua lokal secara on farm maupun turunan pada off farm menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Supra dan infrastruktur pedesaan ditingkatkan baik skala maupun skup jangkauannya. Perkuatan dan pemberdayaan kelembagaan pedesaan menjadi syarat mutlak.
Mengembangkan Industri Nasional Berbasis Pertanian dengan Konsep Agroindustri yang Jelas
Agroindustri adalah bagian dalam sistem agribisnis yang mencakup subsistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usaha tani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lainnya seperti jasa, permodalan, perbankan, dan lainnya. Konsep agrobisnis dan agroindustri dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mulai dikenal sejak akhir tahun 1970-an. Sampai dengan sekarang, masih kesulitan implementasi dalam sistem terintegrasi dengan pertanian primer. Banyak studi menemukan, agroindustri Indonesia tidak berkembang dan tidak memiliki daya saing yang baik. Daya saing agroindustri Indonesia selalu menurun, bahkan mulai tahun 2004 lebih rendah dari Vietnam sehingga pencapaian nilai tambah, inovasi dan industrialisasi yang sehat tidak terjadi. Kebijakan industri terkesan melupakan agroindustri. Permasalahan pengembangan agroindustri disisi lain, terjebak pada ketergantungan bahan baku impor sehingga sangat rawan terhadap tekanan dari luar (external shock) dan rendahnya multiplier ke belakang maupun ke depan. Pemilihan jenis tekhnologi agroindustri tidak sesuai, dan iklim pengembangan usaha agroindustri domestik kurang memberikan insentif yang kondusif. Thailand adalah Negara yang berkehendak mewujudkan industrialisasi dengan agroindustri memalui strategi dasar pengembangan industri benih ekspansif. Sedangkan strategi industri China berbasis agroindustri dengan strategi ekspansi ekspor. Lalu strategi apa dalam industrialisasi Indonesia berbasis agroindustri?
Strategi Pengembangan Agroindustri
Adapun disain agroindustri pangan nasional ke depan dengan strategi berbasis (Darsono 2011):
*) Alumni Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UJY dan Mantan Wakil Ketua Bedayong
Bila visi Indonesia 2030 tercapai maka acuan capaian Millenium Development Goals (MDGs) jauh terlampaui, pendapatan per kapita jauh diatas 10.000 dollar AS. Indonesia tidak lagi bertumpu pada industri dan ekonomi komoditas, namun telah berkembang perekonomiannya pada pengetahuan. Dalam mewujudkannya, tidak hanya diperlukan pelaku yang kapabel dalam inovasi, tatakelola dan strategi manajemen, namun juga menjadi syarat bagi performa yang lebih baik dari sekarang, mengenai peran politik, media, swasta, dan LSM. Kini dengan product domestic bruto (PDB) 700 miliar dollar AS, Indonesia telah masuk dalam Negara G-20.
Namun kita masih dihadapkan pada masalah kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penurunan kemiskinan semakin menurun year on year. Pada kuartal I tahun 2009 penduduk miskin sebesar 32,53 juta (14,15%) menjadi 32,02 juta orang (13,33%) pada kuartal I tahun 2010, berarti hanya turun 0,82%; dimana tahun sebelumnya turun sebesar 1,27%. Penurunan kemiskinan di pedesaan lebih kecil daripada penurunan kemiskinan di perkotaan. Kondisi ini akan merugikan laju mewujudkan Indonesia modern, karena sebagian besar penduduk adalah petani (lebih dari 60% penduduk Indonesia masih bergantung kehidupannya dari pertanian baik di perkotaan maupun di pedesaan).
Modernisasi Indonesia bisa dicapai jika berbasis sumber daya pertanian dan pedesaan (Darsono 2011). Hal tersebut meliputi: 1) keragaman Indonesia modern, 2) capaian kesejahteraan pertanian Indonesia, 3) Persoalan pertanian Indonesia, 4) Mewujudkan pertanian modern Indonesia, dan 5) strategi pengembangan agroindustri.
Keragaman Indonesia Modern dan Posisi Pertanian
Visi Indonesia 2030 dimotivasi oleh aspirasi mewujudkan Indonesia yang modern, maju, dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Rumusan visinya masih menekankan perlunya memilih alam dengan pertanian sebagai basis keunggulan, yakni “ Menjadi Negara Maju yang Unggul dalam Pengelolaan Kekayaan Alam”. Empat pencapaian utama dalam Indonesia Modern adalah:
- Masuknya Indonesia dalam 5 besar kekuatan ekonomi dunia (diperkirakan India, Brazil, Rusia, Indonesia, dan China) dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 18 ribu AS dan jumlah penduduk sekitar 285 juta jiwa.
- Terwujudnya pemanfaatan kekayaan alam yang berkelanjutan, antara lain masuk dalam 10 besar tujuan pariwisata dunia dan tercapainya kemandirian dalam pemenuhan energi domestik.
- Terwujudnya kualitas hidup modern yang merata (shered growth), antara lain ditandai oleh masuknya Indonesia dalam 30 besar indeks pembangunan manusia (HDI) terbaik di dunia (tahun 2010 peringkat 160 dari 169).
- Masuknya paling sedikit 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500 Companies.
Kontribusi sektor pertanian diperkirakan akan terus menurun hingga tahun 2030, namun diikuti peningkatan kesejahteraan, produktivitas, dan keterkaitannya dengan sektor lain. Produktivitas sektor pertanian meningkat seiring dengan kemajuan tekhnologi. Peranan sektor pertanian selanjutnya hanya sebagai pendukung sektor manufaktur. Konsentrasi pembangunan sektoral dalam Indonesia modern, meliputi urutan terpenting: 1) Pertanian, 2) Industri manufaktur, 3) Energi dan pertambangan, 4) Perbankan, jasa keuangan, dan pasar modal, 5) Konstruksi dan properti, 6) Perdagangan besar, eceran, dan persaingan usaha, 7) Perdagangan internasional, 8) Pariwisata, 9) Infrastruktur dan jasa transportasi, 10) Tekhnologi informasi dan telekomunikasi.
Capaian Kesejahteraan Pertanian Indonesia
Capaian kinerja pertanian dalam sejarah menunjukan, sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia telah berperan untuk memulai dan menumbuhkan perekonomian agergat sejak periode 1960-an. Contoh keberhasilan tersebut tampak dari sisi pangan. Bangsa ini telah memiliki pondasi yang kuat dari sisi suplai khususnya pertanian padi. Sejak pembangunan oleh Orde Baru, tahun 1970-an telah disusun kebijakan sistematis melalui Bimas dengan tatalaksana kebijakan terintegrasi secara nasional.
Dengan kebijakan yang agresif, akhirnya Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tatalaksana usaha tani kecil (karena rata-rata pengusahaan sekitar 0,3 ha) namun mampu
mencapai swasembada pangan (Darsono 2011). Keberhasilan pertanian pangan telah menggerakan agresifitas pertumbuhan sebsektor lain bahkan sektor industri dan jasa lainnya. Hal itu selaras dengan sejarah peradaban ekonomi bangsa-bangsa di dunia yang senantiasa dimulai, ditumbuhkan dan didukung secara konsisten oleh pertanian untuk kemakmuran rakyatnya. Khususnya dibuktikan oleh Negara-negara yang memiliki limpahan (endouwment) sumber daya pertanian. Bagi Indonesia potensi itu ada, bahkan banyak studi misalnya (Arifin, 2001, Darsono, 2007) memperkirakan akan terjadi kemakmuran di Indonesia dengan mengelola secara baik sumber daya pertaniannya.
Persoalan Pertanian Indonesia
Banyak studi yang menemukan bahwa peran pertanian Indonesia semakin menurun secara tidak wajar dengan parameter penurunan produktivitas, pangsa ekonomi, serapan tenaga kerja, dan kemampuan membangkitkan sektor sekunder. Sejak tahun 1990-an tidak mampu lagi menjadi pendukung tumbuh kembangnya perekonomian Indonesia.
Revitalisasi pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan (RPPPK) telah dicanangkan pada deklarasi Jatiluhur tanggal 11 Juni 2005. Hingga sekarang belum nampak program masif yang menyentuh langsung dalam hajat hidup pertanian, petani, peternak, bahkan nelayan untuk perbaikan performa dan harkat hidupnya. Infrastruktur irigasi tidak progresif bahkan dibiarkan terbengkalai dimana-mana. Petani serasa menghadapi serangan wereng masih sendirian. BULOG tidak berperan lagi secara baik dalam mendukung ketahanan pangan. Inovasi tekhnologi benih jauh dibawah potensi kapasitas diversitas tersedia pertanian, sehingga kita diserbu segala jenis komoditas pertanian impor bahkan yang asal tetuanya dari Indonesia.
Indikasi selanjutnya tidak berkembangnya rantai agroindustri sebagai fase antara untuk mengantarkan proses transformasi industrialisasi di Indonesia. Sehingga, perekonmomian domestik tidak dapat menciptakan nilai tambah produk primer pertanian, dan tidak dapat menikmati nilai tambah/insentif positif tersebut untuk kesejahteraan. Agroindustri adalah rantai lanjutan produk dari sektor pertanian, pencipta nilai tambah dan sebagai fase antara industrialisasi.
Permasalahan pasar dalam studi Timmer (1996) dan Enrique (2008) menunjukan bahwa pasar pertanian tidak simetris (asimetris market) baik pasar domestik maupun internasional. Elastisitas transmisi harga komoditas pertanian kecil, sehingga kenaikan harga di tingkat konsumen tidak dapat dinikmati oleh produsen. Dampaknya, terdapat disinsentif serius dalam investasi pertanian yang progresif dan tidak mendorong berkembangnya agroindustri (Darsono, 2010b).
Alokasi belanja pemerintah dalam fiskal untuk pertanian selama masa pembangunan dan setelah memasuki periode otonomi cenderung terus menurun dalam kondisi pertanian tidak semakin mandiri. Di kabupaten/kota dan provinsi, terjadi pula penurunan rata-rata alokasi belanja pembangunan pertanian dalam APBD dari 4,80% pada awal periode otonomi daerah/desentralisasi fiskal (1999), tinggal 4,39% di tahun 2006. Pada era otonomi, kondisi infrastruktur sebagian besar (70%) semakin buruk terutama jaringan irigasi, jalan pedesaan dan pasar desa. Subsidi untuk pertanian juga mengalami penurunan drastis. Dari uraian persoalan pertanian dan pertanian Indonesia menandakan bahwa mekanisme transformasi dalam perekonomian nasional terindikasi gagal.
Mewujudkan Pertanian Indonesia Modern
Untuk mewujudkan pertanian yang modern, tiga strategi dasar yang harus diwujudkan yaitu:
Kemandirian Petani
Kemandirian petani didekati dengan keberdayaan dari sisi pendidikan, ekonomi, dan daya saing. Sampai tahun 2011, 75% pendidikan petani dan yang bekerja di sektor pertanian rata-rata tidak tamat sekolah dasar (SD), 24% lulus SMP dan SMA, hanya 1% yang lulus perguruan tinggi. Secara ekonomi, sekitar 56% petani Indonesia hidup subsisten dengan mengusahakan lahan sekitar 0,3 ha dan pendapatan Rp 16 juta (sekitar $ 1.600 AS)/hektar/tahun (BPS, 2010). Mereka langsung menghadapi dinamika pasar bebas dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan membayar teramat mahal, sementara produk komoditas pertanian diserahkan ke mekanisme pasar (kecuali meras) yang berdaya saing rendah sehingga harganya murah. Pupuk tergantung dari perusahan multinasional, akses kredit yang teramat susah, sehinga penciptaan nilai lebih (saving) petani tidak memungkinkan dan inovasi tidak pernah ada di pedesaan. Kalau inovasi sebagai sumber kamajuan karena mobilitas kapital (Mankiw, 2006) tidak ada, maka di desa akan sulit menemukan kemandirian dan daya saing yang semakin baik karena petani tidak pernah bisa menangkap aliran kapital tersebut.
Memandirikan petani meliputi aspek petani, lahan pertanian, budidaya pertanian, dan usahatani. Mewujudkan daya saing petani dalam kasus Indonesia dicapai melalui sinergi dan jejaring kelembagaan ditingkat petani dengan para pemangku kepentingan. Dalam skala usaha, secara akulturatif dicapai dengan proses persandingan antara pertanian tradisional dengan pertanian modern. Reinventing dan revitalisasi kelembagaan usahatani diperlukan. Bentuk usaha tani yang memadukan kekuatan kelembagaan di tingkat petani, ditawarkan bentuk badan usaha milik petani (BUMD). Kemandirian petani kedepan juga harus berbekal mitigasi cuaca karena anomali iklim dan perubahan dinamis sedang terjadi. Pada era perubahan iklim, petani Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan perencanaan dan implementasi kebijakan secara konfensional.
Menciptakan Surplus Pedesaan
Upaya serius memandirikan desa dilakukan dengan menciptakan surlus pedesaan. Caranya dengan membalik proses aliran pencucian sumber daya atau paling tidak dengan membalik fenomena urbanisasi menjadi ruralisasi, kerena kondisi desa menarik untuk memperoleh nilai tambah karena kegiatan industri berbasis agro di pedesaan. Portofolio investasi harus didorong berlokasi di desa dan peruntukannya bagi pertanian. Disain riset pertanian dan tekhnologi mampu memberikan pengayaan bagi sumber daya pedesaan yang dimulai dari tekhnologi benih, dan bibit yang masif mengkreasi komoditas tetua lokal secara on farm maupun turunan pada off farm menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Supra dan infrastruktur pedesaan ditingkatkan baik skala maupun skup jangkauannya. Perkuatan dan pemberdayaan kelembagaan pedesaan menjadi syarat mutlak.
Mengembangkan Industri Nasional Berbasis Pertanian dengan Konsep Agroindustri yang Jelas
Agroindustri adalah bagian dalam sistem agribisnis yang mencakup subsistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usaha tani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lainnya seperti jasa, permodalan, perbankan, dan lainnya. Konsep agrobisnis dan agroindustri dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mulai dikenal sejak akhir tahun 1970-an. Sampai dengan sekarang, masih kesulitan implementasi dalam sistem terintegrasi dengan pertanian primer. Banyak studi menemukan, agroindustri Indonesia tidak berkembang dan tidak memiliki daya saing yang baik. Daya saing agroindustri Indonesia selalu menurun, bahkan mulai tahun 2004 lebih rendah dari Vietnam sehingga pencapaian nilai tambah, inovasi dan industrialisasi yang sehat tidak terjadi. Kebijakan industri terkesan melupakan agroindustri. Permasalahan pengembangan agroindustri disisi lain, terjebak pada ketergantungan bahan baku impor sehingga sangat rawan terhadap tekanan dari luar (external shock) dan rendahnya multiplier ke belakang maupun ke depan. Pemilihan jenis tekhnologi agroindustri tidak sesuai, dan iklim pengembangan usaha agroindustri domestik kurang memberikan insentif yang kondusif. Thailand adalah Negara yang berkehendak mewujudkan industrialisasi dengan agroindustri memalui strategi dasar pengembangan industri benih ekspansif. Sedangkan strategi industri China berbasis agroindustri dengan strategi ekspansi ekspor. Lalu strategi apa dalam industrialisasi Indonesia berbasis agroindustri?
Strategi Pengembangan Agroindustri
Adapun disain agroindustri pangan nasional ke depan dengan strategi berbasis (Darsono 2011):
- Strategi Berbasis Pedesaan
- Strategi Berbasis UKM (Usaha Kecil Menengah)
- Strategi Berbasis Komoditas Pangan Sekunder dan Biofarmaka
- Strategi Berbasis Komplementasi dengan Komoditas Perkebunan dan Perikanan
*) Alumni Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UJY dan Mantan Wakil Ketua Bedayong