Kegiatan kumpul-kumpul sudah menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat Indonesia. Kebiasaan ini muncul dari kebiasaan di kampung halaman. Para bapak kumpul di tempat ronda, ibu-ibu mengadakan arisan. Ternyata hal ini juga diperhatikan oleh anak-anak di usia remaja, dialami dan juga sudah menjadi kebiasaan remaja (kaum muda). Usia muda adalah suatu fase penting untuk perkembangan pribadi sebagai persiapan di masa yang akan datang. Semakin banyak pengalaman, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki akan semakin siaplah seseorang untuk di masa yang akan datang.
Pendidikan adalah hal terpenting dalam mendukung perkembangan penerus bangsa untuk di masa yang akan datang. Putra daerah harus bertanggung jawab untuk kemajuan daerahnya. Pendidikan berasal dari kata didik atau kata lain mendidik, yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia), sehingga pendidikan memiliki arti sebagai cara, hal, atau suatu perpuatan yang mendidik.
Lingkungan keluarga adalah wadah pertama dan utama untuk pendidikan anak (bangsa). Melalui keluarga, karakter anak akan tumbuh dan menjadi dasar pribadi anak. Pada usia tertentu kebanyakan orang akan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah formal. Dari tingkat dasar (SD) hingga atas (SMA). Tidak sedikit juga yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pemerintah sudah mulai mencanangkan Wajib Sekolah 12 tahun itu artinya minimal seorang anak harus lulus SMA/sederajat.
Pada kenyataannya pendidikan tidak hanya dapat dilakukan di rumah dan sekolah saja, karena pendidikan dapat dilakukan di mana pun. Selain itu pula pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang lebih tua saja (orang tua dan keluarga, guru, karyawan sekolah, dan lain-lain), tetapi juga teman sebaya (teman bermain).
Dewasa ini yang menjadi permasalahan adalah apakah kebiasaan kumpul-kumpul ini juga dapat dijadikan wadah untuk memajukan pendidikan terutama di daerah? Berawal dari kebiasaan berkumpul dan kegiatan mendidik juga dapat dilakukan oleh teman sebaya, kita sebagai kaum penerus bangsa harus prihatin dan tertantang dengan keadaan pendidikan yang terjadi di sekitar kita. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan adalah tanggung jawab utama bagi setiap insan yang bertekat memajukan pendidikan dan daerahnya. Dalam hal ini sesama kaum mudalah yang seharusnya menjadi tokoh utama untuk pendidikan, orang tua hanyalah sebagai pendamping dan tempat untuk “bercermin” saja. Kegiatan kumpul-kumpul ini sebenarnya dapat dijadikan wadah untuk mengembangkan pendidikan. Hal ini juga perlu diketahui oleh para orang tua dan terutama kaum muda yang sebagai pelakunya, karena suatu kebiasaan sangat sulit sekali untuk ditinggalkan dan dihilangkan. Hanya saja apa isi dari kegiatan kumpul-kumpul itu. Apakah hanya sekadar rame? Apakah hanya sekadar bertemu dengan sanak saudara dan teman? Atau hanya sekadar untuk senang-senang, seperti mabuk-mabukan, menampilkan gaya, adu penampilan, dan atau kegiatan-kegiatan lain yang isinya kurang bermutu?
Kaum muda biasanya menyebut kegiatan kumpul-kumpul ini dengan istilah ‘nongkrong’. Kegiatan nongkrong ini memang menjadi kebiasaan dan bahkan menjadi trend dikalangkan kaum muda. Budayakanlah nongkrong yang sehat, wahai teman-teman. Gali pengetahuan dan pengalaman yang positif saat nongkrong itu. Berbagi informasi, pengalaman yang dapat berupa pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, perkembangan daerah dan bahkan perkembangan negara kita. Buatlah suasana yang nyaman, aman dan terkendali untuk memperoleh pengetahuan yang baru saat nongkrong itu, sehingga kamu bisa berbangga sebagai anak nongkrong yang berwawasan luas, berprestasi, dan siap untuk menghadapi masa depan pribadi, bangsa, negara, dan dunia. Jangan saling menjatuhkan, perpikirlah dengan positif, berbagi dan saling menguntungkan.
Nongkrong biasanya identik dengan hal yang negatif, namun sekarang orang tua tidak perlu resah dan gelisah, jika keadaan yang seperti itu dapat berlangsung. Menjadi pencetus untuk hal seperti ini memang tidak mudah, jika orang tersebut tidak memulainya dari diri sendiri. (Nikolaus Subandi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Lingkungan keluarga adalah wadah pertama dan utama untuk pendidikan anak (bangsa). Melalui keluarga, karakter anak akan tumbuh dan menjadi dasar pribadi anak. Pada usia tertentu kebanyakan orang akan menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah formal. Dari tingkat dasar (SD) hingga atas (SMA). Tidak sedikit juga yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Pemerintah sudah mulai mencanangkan Wajib Sekolah 12 tahun itu artinya minimal seorang anak harus lulus SMA/sederajat.
Pada kenyataannya pendidikan tidak hanya dapat dilakukan di rumah dan sekolah saja, karena pendidikan dapat dilakukan di mana pun. Selain itu pula pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang lebih tua saja (orang tua dan keluarga, guru, karyawan sekolah, dan lain-lain), tetapi juga teman sebaya (teman bermain).
Dewasa ini yang menjadi permasalahan adalah apakah kebiasaan kumpul-kumpul ini juga dapat dijadikan wadah untuk memajukan pendidikan terutama di daerah? Berawal dari kebiasaan berkumpul dan kegiatan mendidik juga dapat dilakukan oleh teman sebaya, kita sebagai kaum penerus bangsa harus prihatin dan tertantang dengan keadaan pendidikan yang terjadi di sekitar kita. Artinya segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan adalah tanggung jawab utama bagi setiap insan yang bertekat memajukan pendidikan dan daerahnya. Dalam hal ini sesama kaum mudalah yang seharusnya menjadi tokoh utama untuk pendidikan, orang tua hanyalah sebagai pendamping dan tempat untuk “bercermin” saja. Kegiatan kumpul-kumpul ini sebenarnya dapat dijadikan wadah untuk mengembangkan pendidikan. Hal ini juga perlu diketahui oleh para orang tua dan terutama kaum muda yang sebagai pelakunya, karena suatu kebiasaan sangat sulit sekali untuk ditinggalkan dan dihilangkan. Hanya saja apa isi dari kegiatan kumpul-kumpul itu. Apakah hanya sekadar rame? Apakah hanya sekadar bertemu dengan sanak saudara dan teman? Atau hanya sekadar untuk senang-senang, seperti mabuk-mabukan, menampilkan gaya, adu penampilan, dan atau kegiatan-kegiatan lain yang isinya kurang bermutu?
Kaum muda biasanya menyebut kegiatan kumpul-kumpul ini dengan istilah ‘nongkrong’. Kegiatan nongkrong ini memang menjadi kebiasaan dan bahkan menjadi trend dikalangkan kaum muda. Budayakanlah nongkrong yang sehat, wahai teman-teman. Gali pengetahuan dan pengalaman yang positif saat nongkrong itu. Berbagi informasi, pengalaman yang dapat berupa pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, perkembangan daerah dan bahkan perkembangan negara kita. Buatlah suasana yang nyaman, aman dan terkendali untuk memperoleh pengetahuan yang baru saat nongkrong itu, sehingga kamu bisa berbangga sebagai anak nongkrong yang berwawasan luas, berprestasi, dan siap untuk menghadapi masa depan pribadi, bangsa, negara, dan dunia. Jangan saling menjatuhkan, perpikirlah dengan positif, berbagi dan saling menguntungkan.
Nongkrong biasanya identik dengan hal yang negatif, namun sekarang orang tua tidak perlu resah dan gelisah, jika keadaan yang seperti itu dapat berlangsung. Menjadi pencetus untuk hal seperti ini memang tidak mudah, jika orang tersebut tidak memulainya dari diri sendiri. (Nikolaus Subandi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)