Perhelatan akbar Pesta Seni dan Budaya Dayak se-Kalimantan yang kesembilan (PSBDK IX) sukses diselenggarakan. Acara yang berlangsung selama tiga hari, dari tanggal 20-22 Oktober 2011, dilaksanakan di Taman Budaya Yogyakarta. Ini merupakan kali kedua gedung ini dipergunakan setelah pada tahun 2005 panitia PSBDK IV yaitu Ikatan Keluarga Besar Kabupaten Sanggau Yogyakarta (IKBKSY) menjadi tuan rumahnya.
Forum Bujang Dare Kayong (Bedayong) tahun 2011 lalu bertindak sebagai tuan rumah penyelenggara PSBDK. Dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang dan Sekretariat Bersama Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat J. C. Oevaang Oeray, Bedayong mampu menghadirkan “Pelangi Borneo di Tanah Sultan.”
Forum Bujang Dare Kayong (Bedayong) tahun 2011 lalu bertindak sebagai tuan rumah penyelenggara PSBDK. Dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Ketapang dan Sekretariat Bersama Pelajar Mahasiswa Kalimantan Barat J. C. Oevaang Oeray, Bedayong mampu menghadirkan “Pelangi Borneo di Tanah Sultan.”
PSBDK IX ini mengangkat tema “Kontinuitas Keberagaman Budaya Dayak dalam Cerminan Budaya Nusantara.” Pemilihan tema ini tidak lepas dari keprihatinan atas bergesernya paradigma yang cenderung memandang Dayak sebagai suatu entitas tunggal dan seragam. Realitas menunjukkan hal yang sebaliknya di mana kemajemukan dan keberagaman budaya merupakan harta karun yang paling berharga. Inilah warisan terbaik yang tak akan habis digerus jaman. Berangkat dari kritik yang bersifat konstruktif ini maka panitia PSBDK berupaya menghadirkan warna-warni Dayak itu di Taman Budaya Yogyakarta dan penegakkan kembali akan arti penting nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme kepada setiap insan yang datang.
Membumikan Gagasan Keberagaman
Ide merupakan suatu kekuatan yang mampu menggerakkan pendulum kehidupan untuk terus bergerak hingga mencapai titik ekuilibriumnya. Upaya mewacanakan gagasan kemajemukan dan keberagaman ternyata mampu menyajikan warna Kalimantan yang sesungguhnya. Hal ini, untuk pertama kalinya, tercermin pada hadirnya budaya dari keempat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Pada PSBDK IX ini ada nuansa baru yang dihadirkan. Upacara adat Sambut Temuai Bakutomaro dari Dayak Pesaguan memberikan penyegaran sekaligus warna baru pada pembukaan penyelengaraan PSBDK. Untuk pertama kalinya pembukaan PSBDK dilakukan tanpa memotong bambu sebagaimana lazimnya dilakukan pada pembukaan-pembukaan penyelenggaraan PSBDK sebelumnya. Sebaliknya, sebuah gerbang yang terbuat dari bambu dijadikan pintu penyambutan. Upacara ini bermakna menyambut tamu agung di depan pintu gerbang pertahanan.
Para tamu kemudian disambut dengan tarian pembukaan dan minum tuak bersama. Prosesi minum tuak bersama ini menggunakan tanduk kerbau sebagai ‘gelasnya.’ Inilah bentuk keistimewaan dan kehangatan adat Dayak Pesaguan tatkala menyambut tamu agung yang datang berkunjung ke ‘perhelatan’ yang mereka selenggarakan. Penyambutan yang dilaksanakan secara tulus hati tanpa mengindahkan besaran ‘rupiah’ yang harus dikeluarkan. Inilah keramahan yang disajikan oleh masyarakat Dayak Pesaguan yang dibawa ke “Tanah Sultan” untuk dinikmati oleh Indonesia.
Dua sajian di atas mengawali rangkaian acara pada perhelatan akbar PSBDK yang telah memasuki usia yang kesembilan. Stand pameran seni dan budaya yang menempati ruangan di bawah Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan nuansa yang berbeda dari penyelengaraan PSBDK tahun-tahun sebelumnya. Stand pameran yang bersifat indoor ini secara efektif memanfaatkan space yang tersedia untuk melaksanakan workshop tattoo di hari kedua. Selain itu, alunan petikan alat musik sapek dan tarian penyambutan di hari pertama pada akhirnya mendapatkan ‘tempatnya’ untuk menunjukkan eksistensinya. Permainan sapek yang dibawakan secara solo oleh Felix Ivan Thambun (dari Fokus Mapawi) mampu menghadirkan nuansa ‘pesta panen padi’ yang menginspirasi diselenggarakannya PSBDK.
PSBDK IX menghadirkan perlombaan vokal grup di malam kesenian I. Ini merupakan a new breakthrough yang kreatif, inovatif, dan menjanjikan untuk dijadikan agenda tetap, sebagaimana perlombaan tari Dayak kreasi yang telah menempati ‘kapling’ di malam kedua sehingga dikenal dengan nama Malam Festival Tari Dayak Kreasi. Inisiatif menghadirkan lagu-lagu berbahasa Dayak (lebih tepatnya berbahasa subetnis Dayak) berangkat dari keinginan untuk tidak hanya mempromosikan lagu-lagu tersebut, tetapi juga ‘menjembatani’ tradisi dan modernitas tanpa menghilangkan esensi yang terkandung di dalam lagu-lagu itu. Terobosan ini layak diapresiasi sehingga khalayak ramai semakin mengenal keberagaman budaya Dayak, sekaligus ‘menggelitik’ kepekaan kawan-kawan Dayak dengan pertanyaan: Sejauh mana kita mengenal mengenal budaya kita? Sejauh mana kita mengenal budaya saudara-saudara kita yang berbeda subetnis dengan kita?
Nilai-nilai kebersamaan yang amat terasa manakala pesta ini diselenggarakan di Warunadwipa (Pulau Dewa Laut) berusaha untuk disemai di Bumi Para Sultan. Kehadiran para pengisi acara dari keempat provinsi di Kalimantan merupakan sebuah kesuksesan tersendiri dari penyelenggaraan PSBDK tahun ini. Untuk pertama kalinya, kawan-kawan dari Kalimantan Selatan yang tergabung di Sanggar Dendang Banua ikut menyemarakkan pesta rakyat ini. Malam Kesenian II merupakan panggung terbuka yang menjadi saksi pemenuhan janji untuk membumikan tema besar PSBDK IX. Inilah pengejawantahan kerja keras, dedikasi, dan komitmen panitia PSBDK untuk menghadirkan ragam budaya Kalimantan seutuhnya.
Kebersamaan versus Kompetisi dan Komersialisasi Budaya
Dayak ibarat sebuah mozaik yang tersusun dari ragam manusia dan budaya yang melekat padanya. Setiap keping mozaik ini menghadirkan daya pikat untuk bisa memahami dan mendalami manusia Dayak seutuhnya. Memahami satu keeping kecil ini tidaklah berarti mengenal dan memahami mozaik itu secara keseluruhan. Oleh karena itu, menyamaratakan manusia Dayak dan budayanya merupakan suatu pengingkaran atas kemajemukan dan keberagaman.
Kemajemukan dan keberagaman budaya Dayak merupakan suatu anugerah, bukan sebaliknya. Nusa Kencana[1] yang telah didiami selama ribuan tahun telah melahirkan suatu bentuk local wisdom yang khas, salah satunya nilai kebersamaan. Itu merupakan ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya. Semangat kebersamaan yang disemai mula-mula di Rumah Betang[2] terbukti mampu menyatukan dan mempersatukan panitia PSBDK IX untuk menyajikan kepada khlayak ramai eksotika Bumi Lumbung Energi.
Akan tetapi, nilai kebersamaan ini bukannya tanpa ‘lawan.’ Komersialisasi dan kompetisi budaya yang ‘menyusupi’ acara ini secara pelan tapi pasti mulai ‘menggerogoti’ setiap dimensi yang bersentuhan dengannya. Adalah suatu pekerjaan rumah kita bersama untuk sekali lagi menghadirkan semangat kebersamaan ini sehingga semangat ‘kontinuitas’ yang telah digadang tak lekang oleh waktu dan tak gentar ditempa jaman. Kamuh suntung gayi jadi bukanlah suatu akhir, melainkan suatu awal fajar baru pluralisme dan multikulturlisme yang harus KITA singsing bersama. Kita tunggu bersama tuaian seperti apa dari penyelenggaraan PSBDK yang selanjutnya.
Francoes Mitter
Sang Pengelana ^_^
[1] Nama pulau Kalimantan sebagaimana tertera di dalam naskah-naskah Jawa Kuno.
[2] Di beberapa tempat ada yang menyebutnya Rumah Lamin. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Rumah Panjang (Long House).
Membumikan Gagasan Keberagaman
Ide merupakan suatu kekuatan yang mampu menggerakkan pendulum kehidupan untuk terus bergerak hingga mencapai titik ekuilibriumnya. Upaya mewacanakan gagasan kemajemukan dan keberagaman ternyata mampu menyajikan warna Kalimantan yang sesungguhnya. Hal ini, untuk pertama kalinya, tercermin pada hadirnya budaya dari keempat provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Pada PSBDK IX ini ada nuansa baru yang dihadirkan. Upacara adat Sambut Temuai Bakutomaro dari Dayak Pesaguan memberikan penyegaran sekaligus warna baru pada pembukaan penyelengaraan PSBDK. Untuk pertama kalinya pembukaan PSBDK dilakukan tanpa memotong bambu sebagaimana lazimnya dilakukan pada pembukaan-pembukaan penyelenggaraan PSBDK sebelumnya. Sebaliknya, sebuah gerbang yang terbuat dari bambu dijadikan pintu penyambutan. Upacara ini bermakna menyambut tamu agung di depan pintu gerbang pertahanan.
Para tamu kemudian disambut dengan tarian pembukaan dan minum tuak bersama. Prosesi minum tuak bersama ini menggunakan tanduk kerbau sebagai ‘gelasnya.’ Inilah bentuk keistimewaan dan kehangatan adat Dayak Pesaguan tatkala menyambut tamu agung yang datang berkunjung ke ‘perhelatan’ yang mereka selenggarakan. Penyambutan yang dilaksanakan secara tulus hati tanpa mengindahkan besaran ‘rupiah’ yang harus dikeluarkan. Inilah keramahan yang disajikan oleh masyarakat Dayak Pesaguan yang dibawa ke “Tanah Sultan” untuk dinikmati oleh Indonesia.
Dua sajian di atas mengawali rangkaian acara pada perhelatan akbar PSBDK yang telah memasuki usia yang kesembilan. Stand pameran seni dan budaya yang menempati ruangan di bawah Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ditata sedemikian rupa sehingga menampilkan nuansa yang berbeda dari penyelengaraan PSBDK tahun-tahun sebelumnya. Stand pameran yang bersifat indoor ini secara efektif memanfaatkan space yang tersedia untuk melaksanakan workshop tattoo di hari kedua. Selain itu, alunan petikan alat musik sapek dan tarian penyambutan di hari pertama pada akhirnya mendapatkan ‘tempatnya’ untuk menunjukkan eksistensinya. Permainan sapek yang dibawakan secara solo oleh Felix Ivan Thambun (dari Fokus Mapawi) mampu menghadirkan nuansa ‘pesta panen padi’ yang menginspirasi diselenggarakannya PSBDK.
PSBDK IX menghadirkan perlombaan vokal grup di malam kesenian I. Ini merupakan a new breakthrough yang kreatif, inovatif, dan menjanjikan untuk dijadikan agenda tetap, sebagaimana perlombaan tari Dayak kreasi yang telah menempati ‘kapling’ di malam kedua sehingga dikenal dengan nama Malam Festival Tari Dayak Kreasi. Inisiatif menghadirkan lagu-lagu berbahasa Dayak (lebih tepatnya berbahasa subetnis Dayak) berangkat dari keinginan untuk tidak hanya mempromosikan lagu-lagu tersebut, tetapi juga ‘menjembatani’ tradisi dan modernitas tanpa menghilangkan esensi yang terkandung di dalam lagu-lagu itu. Terobosan ini layak diapresiasi sehingga khalayak ramai semakin mengenal keberagaman budaya Dayak, sekaligus ‘menggelitik’ kepekaan kawan-kawan Dayak dengan pertanyaan: Sejauh mana kita mengenal mengenal budaya kita? Sejauh mana kita mengenal budaya saudara-saudara kita yang berbeda subetnis dengan kita?
Nilai-nilai kebersamaan yang amat terasa manakala pesta ini diselenggarakan di Warunadwipa (Pulau Dewa Laut) berusaha untuk disemai di Bumi Para Sultan. Kehadiran para pengisi acara dari keempat provinsi di Kalimantan merupakan sebuah kesuksesan tersendiri dari penyelenggaraan PSBDK tahun ini. Untuk pertama kalinya, kawan-kawan dari Kalimantan Selatan yang tergabung di Sanggar Dendang Banua ikut menyemarakkan pesta rakyat ini. Malam Kesenian II merupakan panggung terbuka yang menjadi saksi pemenuhan janji untuk membumikan tema besar PSBDK IX. Inilah pengejawantahan kerja keras, dedikasi, dan komitmen panitia PSBDK untuk menghadirkan ragam budaya Kalimantan seutuhnya.
Kebersamaan versus Kompetisi dan Komersialisasi Budaya
Dayak ibarat sebuah mozaik yang tersusun dari ragam manusia dan budaya yang melekat padanya. Setiap keping mozaik ini menghadirkan daya pikat untuk bisa memahami dan mendalami manusia Dayak seutuhnya. Memahami satu keeping kecil ini tidaklah berarti mengenal dan memahami mozaik itu secara keseluruhan. Oleh karena itu, menyamaratakan manusia Dayak dan budayanya merupakan suatu pengingkaran atas kemajemukan dan keberagaman.
Kemajemukan dan keberagaman budaya Dayak merupakan suatu anugerah, bukan sebaliknya. Nusa Kencana[1] yang telah didiami selama ribuan tahun telah melahirkan suatu bentuk local wisdom yang khas, salah satunya nilai kebersamaan. Itu merupakan ‘harta karun’ yang tak ternilai harganya. Semangat kebersamaan yang disemai mula-mula di Rumah Betang[2] terbukti mampu menyatukan dan mempersatukan panitia PSBDK IX untuk menyajikan kepada khlayak ramai eksotika Bumi Lumbung Energi.
Akan tetapi, nilai kebersamaan ini bukannya tanpa ‘lawan.’ Komersialisasi dan kompetisi budaya yang ‘menyusupi’ acara ini secara pelan tapi pasti mulai ‘menggerogoti’ setiap dimensi yang bersentuhan dengannya. Adalah suatu pekerjaan rumah kita bersama untuk sekali lagi menghadirkan semangat kebersamaan ini sehingga semangat ‘kontinuitas’ yang telah digadang tak lekang oleh waktu dan tak gentar ditempa jaman. Kamuh suntung gayi jadi bukanlah suatu akhir, melainkan suatu awal fajar baru pluralisme dan multikulturlisme yang harus KITA singsing bersama. Kita tunggu bersama tuaian seperti apa dari penyelenggaraan PSBDK yang selanjutnya.
Francoes Mitter
Sang Pengelana ^_^
[1] Nama pulau Kalimantan sebagaimana tertera di dalam naskah-naskah Jawa Kuno.
[2] Di beberapa tempat ada yang menyebutnya Rumah Lamin. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Rumah Panjang (Long House).